Belajar Memaknai Arti ‘Cukup’

Mifta Fajriyah
3 min readJul 24, 2023

--

The character Joy, voiced by Amy Poehler, in a scene from “Inside Out.” (Pixar/AP)

“Namanya juga manusia, gak akan pernah merasa puas.”

Pernah gak sih kamu sering mendengar kalimat diatas? Aku yakin, pasti kamu pernah mendengar itu, setidaknya sekali dalam hidup. Ketika mencapai suatu hal tertentu, manusia cenderung menginginkan lebih. Hal ini sering kali berkaitan dengan kepemilikan terhadap status sosial (karir, jabatan, popularitas, dsb.) dan materi (harta dalam bentuk apapun, entah itu uang, rumah, kendaraan, gadget, dsb.)

Sering kali aku merasa bahwa masyarakat kita senang mengglorifikasi kalimat diatas. Seakan ketidakpuasan itu adalah sesuatu hal yang sudah sepatutnya (lumrah) untuk dirasakan. Sesuatu yang wajar untuk dimaklumi.

Seakan kita didorong untuk terus melakukan hal tertentu secara terus menerus, untuk mendapatkan sesuatu hal yang ‘lebih’ dari apa yang sudah kita miliki saat ini.

Disatu sisi, kalimat ini tidak salah. Aku paham betul bahwa sebagai manusia, kita harus terus bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Dan, sering kali indikator “BAIK” disini selalu melekat dengan sebuah pencapaian (achievement). Misalnya saja, sebagai seorang perempuan, ketika sudah lulus Sarjana, melanjutkan karir menjadi PNS atau Pegawai BUMN disebut-sebut sebagai kesuksesan. Sebaliknya, jika pasca lulus seorang perempuan memilih untuk menikah dan menjadi Ibu Rumah Tangga (IRT), hal itu seperti menjadi sebuah ‘kemunduran’.

“Jangan cepat puas yaaa…kamu bisa mencapai hal yang lebih besar lagi”

Ketika berkarir sering kali kita dihadapkan dengan berbagai tantangan. Layaknya sebuah game, semakin berat tantangan yang kita hadapi, maka semakin tinggi pula posisi atau ‘level’ kita. Dalam struktur sosial, kita seakan terus dipacu untuk terus naik level. Kita dituntut untuk tidak boleh berpuas diri berada di posisi tertentu. Karena itu, seseorang berusaha ‘mati-matian’ agar bisa promosi atau naik jabatan/pangkat.

Tidak cepat berpuas diri. Yap, hal tersebut memang benar untuk perkembangan diri kita sebagai seorang individu. Tidak cepat berpuas diri berarti kita tidak boleh menjadi pribadi yang stagnan. Kita harus terus evolving, terus adaptif dalam meng-upgrade pengetahuan dan keterampilan, terlebih seiring dengan perkembangan zaman. Ada kalanya, mantra untuk tidak cepat berpuas diri bisa mendorong kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari diri kita di masa lalu.

Namun, disisi lain, entah kenapa dua kalimat yang aku kutip diatas, mungkin akan menjadi sebuah ‘mantra’ yang menjerumuskan jika tidak dibarengi dengan adab, empati, dan kemampuan berpikir kritis yang baik. Yap, memahami konteks dengan baik sangat krusial disini. Dalam beberapa kasus, aku merasa bahwa kalimat tersebut bisa membuat orang menanggalkan norma dan etika, khususnya ketika dihadapkan dengan konflik kepentingan. Contoh sederhana yang sering sekali kita jumpai adalah melihat pejabat negara yang korupsi. Keserakahan akan materi membuat mereka tidak mengenal arti kata ‘cukup’. Selalu menginginkan hal yang lebih dari apa yang sudah dimiliki.

Aku tumbuh dimana seseorang yang hidup di dunia ini akan dinilai berdasarkan ‘kesuksesan’. Orang yang berhasil dalam hidup akan mendapatkan label sukses. Dan, kesuksesan itu kebanyakan diukur dari berapa banyak pundi-pundi aset yang sudah dimiliki (possession on things).

“Umur 30 tahun harusnya sudah punya uang XX juta, mobil, rumah, dst…”

Indikator kesuksesan seperti itu membuatku heran dan bertanya-tanya.

Apakah orang yang sukses akan otomatis bisa mencapai kebahagiaan?
Belum tentu. Kembali lagi, definisi bahagia sangatlah subjektif. Hal tersebut tergantung pada bagaimana seorang individu mengartikan kebahagiaan. Alih-alih berfokus hanya pada materi untuk mengukur kesuksesan, menurutku, ada hal yang juga tak kalah penting. Dampak atau kebermanfaatan. Apa impact atau manfaat yang bisa aku dan orang lain rasakan dengan segala materi tersebut? Apakah manfaat itu bisa membawa kebaikan? atau justru sebaliknya (menjadi resource yang mubazir)?

Semakin dewasa, aku berusaha untuk belajar memaknai rasa bahagia. Mungkin saat ini aku belum menjadi sosok yang kaya raya. Aku juga belum bisa menjadi sosok yang bisa memberi dampak besar untuk banyak orang. Namun, di umurku yang genap 28 tahun ini, aku menyadari bahwa kebahagiaan erat kaitannya dengan perasaan cukup (feel enough/feel content).

Merasa cukup membuatku lebih mengenal batasan diri sendiri. Apa yang benar-benar aku butuhkan, bukan saja apa yang aku inginkan. Aku jadi lebih memahami ritme dalam diri. Aku jadi tahu kapan harus berjalan, berlari dan berhenti.

Sebelum bulan Juli berakhir, aku ingin mengucapkan selamat ulang tahun untuk diriku sendiri.

“Selamat bertambah usia dan berkurang jatah hidup di dunia, Mif! Terima kasih sudah mengambil waktu sejenak untuk berkontemplasi dan mengeluarkan segala unek-unek yang ada di kepala dengan menulis cerita ini.

Teruslah bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik lagi ya.”

Taipei, July 24th, 2023

--

--